BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Dalam tubuh terdapat berbagi macam hormone yang dihasilkan
oleh berbagai macam organ atau kelenjar seperti diantaranya kelenjar suprarenal
yang terbagi menjadi 2 yaitu medulla adrenal dan karteks adrenal dimana
kelenjar-kelenjar ini menghasilkan berbagai macam hormon yang sangat berguna
dari tubuh. Kelainan ataupun gangguan pada kelenjar adrenal tentu akan
berpengaruh pada tubuh.
Anatomi Fisiologi Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal adalah dua struktur kecil yang terletak di
atas masing-masing ginjal.Pada masing-masing kelenjar adrenal tersebut terbagi
menjadi dua bagian, yaitu bagian luar (korteks) dan bagian tengah (medulla).
Bagian medulla menghasilkan hormon amina, sedangkan bagian korteks menghasilkan
hormon steroid
1. MEDULA
ADRENAL
Medula adrenal dianggap juga sebagai bagian dari sistem
saraf. Sel-sel sekretorinya merupakan modifikasi sel-sel saraf yang melepaskan
dua hormon yang berjalan dalam aliran darah: epinephrine (adrenalin) dan
norephinephrin (noradrenalin).
Peranan adrenalin pada metabolisme normal tubuh belum
jelas.Sejumlah besar hormon ini dilepaskan dalam darah apabila seseorang
dihadapkan pada tekanan, seperti marah, luka atau takut.jika hormone adrenalin
dilepaskan dalam tubuh, hormone menimbulkan tanggapan yang sangat luas, laju
dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah meningkat. Kadar
gula darah dan laju metabolisme meningkat sehingga memungkinkan udara masuk dan
keluar paru-paru lebih mudah, pupil mata membesar. Hormon noradrenalin juga menyebabkan
peningkatan tekanan darah
2. KORTEKS
ADRENAL
Stimulasi korteks oleh sistem saraf simpatetik menyebabkan
dikeluarkannya hormon ke dalam darah yang menimbulkan respon “fight or flight”.
Korteks adrenal korteks adrenal mensekresi tiga kelompok hormon.
3. KORTEKS
ADRENAL
Stimulasi korteks oleh sistem saraf simpatetik menyebabkan
dikeluarkannya hormon ke dalam darah yang menimbulkan respon “fight or flight”.
Korteks adrenal korteks adrenal mensekresi tiga kelompok hormon.
Disfungsi Kelenjar Adrenal
Disfungsi kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang
menunjukkan kelebihan/defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo Hotma, 1999).
Hiperfungsi Kelenjar Adrenal
a.
Sindrom Chusing
Sindrom cushing disebabkan oleh
sekresi berlebihan steroid adrenokortikal, terutama kortisol. Gejala klinis
bisa juga ditemukan oleh pemberian dosis farmakologis kortikosteroid sinetik
b.
Sindrom Adrenogenital
Penyakit yang disebabkan oleh
kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan
untuk sintesis steroid
c.
Hiperaldosteronisme
1)
Hiperaldostirodisme Primer (Sindrom
Chon)
Kelainan yang
disebabkan karena hipersekresi aldosteron autoimun
2)
Aldosteronisme Sekunder
Kelainan yang disebabkan karena hipersekresi rennin primer,
ini disebabkan oleh hyperplasia sel juksta glomerulus di gi
1.2 RUMUSAN MASALAH
1)
Apa
definisi hiperfungsi adrenal (Sindrom chusing) ?
2)
Bagaimana etiologi Hiperfungsi
adrenal ?
3)
Bagaimana patofisiologi hiperfungsi
adrenal ?
4)
Bagaimana manifetasi klinik
hiperfungsi adrenal ?
5)
Bagaimana pemeriksaan penunjang
hiperfungsi adrenal ?
6)
Bagaimana penatalaksanaan
hiperfungsi adrenal ?
7)
Bagaimana komplikasi hiperfugsi
adrenal ?
8)
Bagaimana WOC hiperfungsi adrenal ?
1.3 TUJUAN
1)
Agar mengetahui definisi hiperfungsi adrenal
(Sindrom chusing)
2)
Agar mengetahui etiologi Hiperfungsi
adrenal
3)
Agar mengetahui patofisiologi
hiperfungsi adrenal
4)
Agar mengetahui manifetasi klinik
hiperfungsi adrenal
5)
Agar mengetahui pemeriksaan
penunjang hiperfungsi adrenal
6)
Agar mengetahui penatalaksanaan
hiperfungsi adrenal
7)
Agar mengetahui komplikasi
hiperfugsi adrenal
8)
Agar mengetahui WOC hiperfungsi
adrenal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
HIPERFUNGSI ADRENAL (Sindrom chusing)
Sindrom
cushing adalah keadaan klinik yang terjadi akibat dari paparan terhadap
glukokortikoid sirkulasi dengan jumlah yang berlebihan untuk waktu yang lama
(Green Span, 1998). Penyakit cushing didefinisikan sebagai bentuk spesifik
tumor hipofisis yang berhubungan sekresi ACTH hipofisis berlebihan. Sindrom
cushing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.
Penyakit cushing
Merupakan tipe sindroma cushing yang
paling sering ditemukan berjumlah kira-kira 70% dari kasus yang dilaporkan.
Penyakit cushing lebih sering pada wanita (8:1, wanita:pria) dan umur saat
diagnosis biasanya antara 20-40 tahun.
b.Hipersekresi
ACTH ektopik
Kelainan ini
berjumlah sekitar 15% dari seluruh kasus Sindroma Cushing. Sekresi ACTH ektopik
paling sering terjadi akibat karsinoma small cell di paru-paru, tumor ini
menjadi penyebab pada 50% kasus sindroma. Sindroma ACTH etopik lebih sering
pada laki-laki. Rasio wanita:pria adalah 1:3, dan insiden tertinggi pada umur
40-60 tahun.
c.Tumor-tumor Adrenal Primer
Tumor-tumor
adrenal primer menyebabkan 17%-19% kasus-kasus Sindroma Cushing.
Adenoma-adenoma adrenal yang mensekresi glukokortikoid lebih sering terjadi
pada wanita. Karsinoma-karsinoma adrenokortikal yang menyebabkan kortisol
berlebih juga lebih sering terjadi pada wanita; tetapi bila kita menghitung
semua tipe, maka insidens keseluruhan lebih tinggi pada laki-laki. Usia
rata-rata pada saat diagnosis dibuat adalah 38 tahun, 75% kasus terjadi pada
orang dewasa.
d.Sindroma Cushing pada Masa Kanak-kanak
Sindroma
Cushing pada masa kanak-kanak dan dewasa jelas lebih berbeda. Karsinoma adrenal merupakan penyebab
yang paling sering dijumpai (51%), adenoma adrenal terdapat sebanyak 14%.
Tumor-tumor ini lebih sering terjadi pada usia 1 dan 8 tahun. Penyakit Cushing
lebih sering terjadi pada populasi dewasa dan berjumlah sekitar 35% kasus,
sebagian besar penderita-penderita tersebut berusia lebih dari 10 tahun pada
saat diagnosis dibuat, insidens jenis kelamin adalah sama.
2.2 ETIOLOGI
a.
Glukokartikoid yang berlebihan
b.
Aktifitas korteks adrenal yang
berlebih
c.
Hiperplasia korteks adrenal
d.
Pemberian kortikosteroid yang
berlebih
e.
Sekresi
steroid adrenokortikal yang berlebih terutama kortisol
f.
Tumor-tumor non hipofisis
g.
Adenoma hipofisis
h.
Tumor adrenal
2.3
PATOFISIOLOGI
Hiperfungsi
korteks adrenal dapat terjadi tanpa tergantung pada kontrol ACTH seperti pada
tumor atau hyperplasia korteks adrenal nodular bilateral dengan kemampuannya
untuk menyekresi kortisol secara autonomi dalam korteks adrenal. Tumor korteks
adrenal yang akhirnya menjadi sindrom cushing dapat jinak (adenoma) atau ganas
(karsinoma). Adenoma korteks adrenal dapat menyebabkan sindroma cushing yang
berat, namun biasanya berkembang secara lambat, dan gejala dapat timbul
bertahun-tahun selama diagnosis ditegakkan. Sebaliknya, karsinoma
adrenokortikal berkembang cepat dan dapat menyebabkan metastasis serta
kematian.
Adanya
sindroma cushing dapat ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik yang telah dijelaskan diatas. Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan
kadar kortisol yang abnormal dalam plasma dan urine. Tes-tes spesifik dapat
menentukan ada atau tidaknya irama sirkadian normal pelepasan kortisol dan
mekanisme pengaturan umpan balik yang sensitive. Tidak adanya irama sirkadian
dan berkurang atau hilangnya kepekaan system pengaturan umpan balik merupakan
cirri sindrom cushing.
2.4
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi
klinik yang sering ditemukan pada penyakit sydrom cushing antara lain obesitas
sentral, gundukan lemak pada punggung, muka bulat (moon face), striae,
berkurangnya massa otot dan kelemahan umum.
Tanda
dan gejala lain yang dapat ditemukan pada sindrom cushing seperti
atripi/kelemahan otot ekstremitas, hirsutisme (kelebihan bulu pada wanita),
ammenorrhoe, impotensi, osteoporosis, atropi kulit, akne, udema., nyeri kepala,
mudah memar dan gangguan penyembuhan luka. (Buku Ajar Ilmu Bedah, R.
Syamsuhidayat, hal. 946)
2.5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Pemerisaan laboratorium
1)
Penurunan
konsentrasi glukosa darah dan natrium (hipoglikemia dan hiponatremia
2)
Peningkatan
kosentrasi kalium serum (hiperkalemia)
3)
Peningkatan
jumlah sel darah putih (leukositosis)
4)
Penurunan kadar kortisol serum
5)
Kadar kortisol plasma rendah
b.
Pemeriksaan radiografi
abdominal menunjukan adanya kalsifikasi diadrenal
c.
CT Scan
Detektor kalsifikasi adrenal dan
pembesaran adrenal yang sensitive hubungannya dengan insufisiensi pada
tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltratif malignan dan non malignan,
dan haemoragik adrenal
d.
Gambaran EKG
Tegangan rendah
aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal sekunder akibat
adanya abnormalitas elektrolit
2.6
PENATALAKSANAAN
a. Medik
1)
Terapi dengan
pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2 sampai 4 minggu dosis 12,5 sampai
50 mg/hari
2)
Hidrokortison (solu- cortef)
disuntikan secara IV
3)
Prednison (7.5
mg/hari)dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi pengganti kortisol
4)
Pemberian infuse dekstrosa 5%dalam
larutan salineFludrokortison: 0,05-0,1 mgper oral dipagi hari
b.
Keperawatan
1) Pengukuran
TTV
2)
Memberikan rasa
nyaman dengan mengatur atau menyediakan waktu istirahat pasien
3)
Menempatkan
pasien dalam posisi setengah duduk dengan kedua tungkai ditinggikan
4)
Memberikan suplemen makanan dengan penambahan garam
5)
Follow up:
mempertahankan berat badan, tekanan darah dan elektrolit yang normal disertai
regresi gambaran klinis
6)
Memantau
kondisi pasien untuk mendeteksi tanda dan gejala yang menunjukan adanya krisis
Addison
2.7
KOMPLIKASI
- Syok (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan garam)
- Kolaps sirkulasi
- Dehidrasi
- Hiperkalemia
- Sepsis
Krisis Addison disebabkan karena
hipotensiakut (hiperkortisolisme) ditandai dengan sianosis, panas, pucat,
cemas, nadi cepat.
2.8 WOC
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
3.1
PENGKAJIAN
Identitas pasien
·
Nama
·
Alamat
·
Status
·
Agama
·
Suku
/ Bangsa
·
Pendidikan
·
Pekerjaan
·
No.
Regristrasi
·
Tgl.
MRS
Keluhan Utama
Pasien
mengakatan Amenorea , Nyeri punggung Mudah lelah/kelelahan
otot Sakit kepala Luka sukar sembuh.
Riwayat Penyakit sekarang
Sebelum
masuk rumah sakit pasien mengalami nyeri puggung
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien
mengatakan tidak punya riwayat penyakit kronik atau menular dan pasien juga
tidak pernah menjalani rawat inap di rumah sakit / operasi.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien
mengatakan bahwa keluarganya tidak pernah mengalami penyakit menurun / menular seperti
Diabetes Mellitus, Hepatitis.
Riwayat Psikologis
Pasien
measa cemas dengan apa yang dialami namun bisa menerima keadaannya sekarang.
3.2 Pemeriksaan Fisik
1.
Keadaan Umum
kesadaran
Composmentis
TTV
:
TD
: 150/80 mmHg
S : 370C
N : 80 x/menit
2. Musculoskeletal
Kelemahan otot, Miopati, Osteoporosis
3. Integument
Penipisan kulit striae, Petechie-hirsutisme
(pertumbuhan bulu wajah)
Ekimosis-edema pada ekstremitas .
4. Kardiovaskuler
Toleransi terhadap
aktivitas menurun, hipertensi
3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih
karena sodium dan retensi cairan
b. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan
metabolisme protein
c.
Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
d.
Resiko cidera b.d kelemahan
e. Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses
penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
f.
Gangguan body image b.d perubahan integumen, perubahan fungsi sexual
g. Perubahan proses piker b.d sekresi kortisol berlebih
h.
Defisit perawatan diri b.d penurunan masa otot
i. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi mengenai
pengobatan, proses penyakit dan perawatan
3.4 INTERVENSI DN
RASIONAL
Dx 1. Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol
berlebih karena sodium dan retensi cairan
Tujuan : Klien menunjukkan keseimbangan volume cairan
setelah dilakukan
tindakan keperawatan
KH :
Edema berkurang
Intake output seimbang
BB
dalam batas normal
Intervensi :
1) Ukur intake output
R/ Menunjukkan status volume sirkulasi terjadinya
perpindahan cairan dan respon terhadap nyeri
2) Hindari
intake cairan berlebih ketika pasien hipernatremia
R/ Memberikan beberapa rasa kontrol dalam menghadapi upaya
pembatasan
3) Ukur TTV (TD, N, RR) setiap 2 jam
R/ TD meningkat, nadi menurun dan RR
meningkat menunjukkan kelebihan cairan
4) Timbang BB klien
R/ Perubahan pada berat badan
menunjukkan gangguan keseimbangan cairan
5) Monitor ECG
untuk abnormalitas (ketidakseimbangan elektrolit)
R/ Hipernatremi dan hipokalemi
menunjukkan indikasi kelebihan cairan
6) Lakukan alih baring setiap 2 jam
R/ Alih baring dapat memperbaiki
metabolisme
7) Kolaborasi
hasil lab (elektrolit : Na, K, Cl)
R/ Menunjukkan retensi cairan dan harus
dibatasi
8) Kolaborasi
dalam pemberian tinggi protein, tinggi potassium dan rendah sodium
R/ Menurunkan retensi cairan
Dx 2. Intoleransi aktivitas b.d
kelemahan otot dan perubahan metabolisme protein
Tujuan : Klien menunjukkan
aktifitaskembali normal setelah dilakukan tinda-
kan keperawatan
KH : - Menunjukkan peningkatan
kemampuan dan berpartisipasi dalam
aktivitas
- Kelemahan (-)
- Kelelahan (-)
- TTV dbn saat
/ setelah melakukan aktifitas
- TD : 120/80 mmHg
- N : 60-100 x/mnt
- RR : 16-20 x/mnt
Intervensi :
1) Kaji
kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
R/ Mengetahui tingkat perkembangan
klien dalam melakukan aktivitas
2) Tingkatkan tirah baring / duduk
R/ Periode istirahat merupakan tehnik
penghematan energi
3) Catat adanya respon terhadap
aktivitas seperti :takikardi, dispnea, fatique
R/ Respon tersebut menunjukkan peningkatan O2, kelelahan dan
kelemahan
4) Tingkatkan
keterlibatan pasien dalam beraktivitas sesuai kemampuannya
R/ Menambah tingkat keyakinan pasien
dan harga dirinya secar baik sesuai dengan tingkat aktivitas yang ditoleransi
5) Berikan
bantuan aktivitas sesuai dengan kebutuhan
R/ Memenuhi kebutuhan aktivitas klien
6) Berikan
aktivitas hiburan yang tepat seperti : menonton TV dan mendengarkan radio
R/ Meningkatkan relaksasi dan
penghematan energi, memusatkan kembali perhatian dan meningkatkan koping
Dx 3. Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon
inflamasi
Tujuan : Infeksi tidak terjadi setelah
dilakukan intervensi
KH : - Tanda-tanda infeksi (tumor, calor, dolor, rubor,
fungsio laesa)
tidak ada
- Suhu normal : 36,5-37,1 C
- Hasil lab : Leukosit : 5000-10.000
gr/dL
Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda infeksi
R/ Adanya tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, calor,
fungsio laesa) merupakan indicator adanya infeksi
2) Ukur TTV setiap 8 jam
R/ Suhu yang meningkat merupan indicator adanya infeksi
3) Cuci tangan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
R/ Mencegah timbulnya infeksi silang
4) Batasi pengunjung sesuai indikasi
R/ Mengurangi pemajanan terhadap patogen infeksi lain
5) Tempatkan
klien pada ruang isolasi sesuai indikasi
R/ Tehnik isolasi mungkin diperlukan
untuk mencegah penyebaran / melindungi pasien dari proses infeksi lain
Kolaborasi
6) Pemberian antibiotik sesuai
indikasi
R/ Terapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya
infeksi nosokomial
7) Pemeriksaan lab (Leukosit)
R/ Leukosit meningkat indikasi
terjadinya infeksi
Dx 4. Resiko cedera b.d kelemahan
Tujuan : Klien tidak mengalami cidera
setelah dilakukan intervensi
KH : - Cedera
jaringan lunak (-)
- Fraktur (-)
-
Ekimosis (-)
-
Kelemahan (-)
Intervensi :
1) Ciptakan lingkungan yang
protektif / aman
R/ Lingkungan yang protektif dapat
mencegah jatuh, fraktur dan cedera lainnya pada tulang dan jaringan lunak
2) Bantu klien
saat ambulansi
R/ Kondisi yang lemah sangat beresiko
terjatuh / terbentur sat ambulasi
3) Berikan
penghalang tempat tidur / tempat tidur dengan posisi yang rendah
R/ Menurunkan kemungkinan adanya trauma
4) Anjurkan
kepada klien untuk istirahat secara adekuat dengan aktivitas yang sedang
R/ Memudahkan proses penyembuhan
5) Anjurkan
klien untuk diet tinggi protein, kalsium dan vitamin D
R/ Untuk meminimalkan pengurangan
massa otot
6) Kolaborasi pemberian obat-obatan
seperti sedative
R/ Dapat meningkatkan istirahat
Dx 5. Gangguan integritas kulit b.d
kerusakan proses penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
Tujuan : Klien menunjukkan integritas
kulit kembali utuh setelah dilakukan
tindakan keperawatan
KH : - Penipisan kulit (-)
- Petechie (-)
- Ekimosis (-)
- Edema pada ekstremitas (-)
- Keadaan kulit baik dan utuh
- Striae (-)
Intervensi :
1) Kaji ulang keadaan kulit klien
R/ Mengetahui kelaianan / perubahan
kulit serta untuk menentukan intervensi selanjutnya
2) Ubah posisi klien tiap 2 jam
R/ Meminimalkan / mengurangi tekanan
yang berlebihan didaerah yang menonjol serta melancarkan sirkulasi
3) Hindari penggunaan plester
R/ Penggunaan plester dapat menimbulkan
iritasi dan luka pada kulit yang rapuh
4) Berikan
lotion non alergik dan bantalan pada tonjolan tulang dan kulit
R/ dapat mengurangi lecet dan iritasi
Dx 6. Gangguan body image b.d perubahan
integumen, perubahan fungsi sexual
Tujuan : Klien menunjukkan gambaran
diri yang positif setelah dilakukan
tindakan keperawatan
KH : - Klien dapat mengekspresikan
perasaanya terhadap perubahan
penampilannya
- Klien dapat
mengutarakan perasaannya tentang perubahan sexual
- Klien dapat
menyebutkan tanda dan gejala yang terjadi selama pengobatan
- Klien dapat
melakukan personal hygine setiap hari
Intervensi :
1) Ciptakan
lingkungan yang kondusif dengan klien mengenai perubahan body image yang
dialami
R/ Lingkungan yang kondusif dapat
memudahkan klien untuk mengungkapkan perasaannya
2) Beri
penguatan terhadap mekanisme koping yang positif
R/ Membantu klien dalam meningkatkan
dan mempertahankan kontrol dan membantu mengembangkan harga diri klien
3) Berikan
informasi pada klien mengenai gejala yang berhubungan dengan pengobatan
R/ Dengan diberikan penjelasan
tersebut, klien dapat menerima perubahan pada dirinya
4) Diskusikan
dengan klien tentang perasaan klien karena perubahan tersebut
R/ Mendiagnosa perubahan konsep diri
didasarkan pada pengetahuan dan persepsi klien
5) Jaga privacy klien
R/ Meningkatkan harga diri klien
6) Beri
dukungan pada klien dan jadilah pendengar yang baik
R/ Memberikan dukungan dapat memotivasi
klien untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar
7) Kolaborasi dengan ahli psikolog
R/ Pasien mungkin membutuhkan dukungan
selama berhadapan dengan proses jangka panjang ketidakmampuan
Dx. 7 Perubahan proses pikir
berhubungan dengan sekresi cortisol berlebih.
Tujuan : Klien menunjukkan Tidak
terjadi perubahan proses pikir.
KH :- Klien mempraktekkan teknik
relaksasi.
- Klien
mendiskusikan perasaannya dengan mudah.
- Klien dapat
berorientasi terhadap lingkungan.
Intervensi :
1) Orientasikan
pada tempat, orang dan waktui.
R/ Dapat memolong mempertahankan
orientasi dan menurunkan kebingungan.
2) Tetapkan jadwal perawatan rutin
untuk memberikan waktu istirahat yang teratur.
R/ Menaikkan orientasi dan mencegah
kelelahan yang berlebihan.
3) Anjurkan
klien untuk melakukan perawatan diri sendiri sesuai kemampuan.
R/ Mempertahankan orientasi pada
lingkungan.
4) Ajarkan teknik relaksasi.
R/ Teknik relaksasi dapat mempengaruhi
proses pikir, sehingga klien dapat lebih tenang.
5) Berikan
tindakan yang stabil, terang dan tidak menimbulkan stress.
R/ Tindakan yang stabil, tenang dan
tidak menimbulkan stress memperbaiki proses pikir.
Dx. 8 Defisit perawatan diri
berhubungan dengan penurunan masa otot
Tujuan : Klien menunjukkan perawatan
diri yang maksimal.
KH : - Kelemahan (-)
- Keletihan (-)
- Klien ikut
serta dalam aktivitas perawatan diri.
- Klien
mengalami peningkatan dalam perawatan diri.
- Klien bebas
dari komplikasi imobilitas.
Intervensi :
1) Kaji
kemampuan klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Dapat mengetahui kemampuan klien dan
memudahkan intervensi selanjutnya.
2) Bantu klien
dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri
klien.
3) Libatkan
keluarga dalam aktivitas perawatan diri klien.
R/ Keluarga merupakan orang terdekat
dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien.
4) Rencanakan
aktivitas dan latihan klien.
R/ Istirahat klien tidak terganggu
dengan adanya aktivitas dan latihan yang terencana.
5) Berikan
dorongan untuk melakukan perawatan diri kepada klien dan atur aktivitasnya.
R/ Dapat mencegah komplikasi
imobilitas.
6) Ciptakan
lingkungan yang tenang dan nyaman
R/ Lingkungan yang tenang dan nyaman
dapat menaikan istirahat dan tidur.
Dx. 9 Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurangnya informasi mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan.
Tujuan : Pengetahuan klien bertambah.
KH : - Klien mengatakan pemahaman
penyebab masalah.
- Klien
mendemonstrasikan pemahaman tentang pengertian, etiologi, tanda dan gejala
serta perawatannya.
- Klien mau
berpartisipasi dalam proses belajar.
Intervensi :
1) Kaji
pengetahuan klien tentang etiologi, tanda dan gejala serta perawatan.
R/ Membuat data dasar dan
mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi.
2) Identifikasi
data dasar / gejala harus dilaporkan dengan segera pada pemberi pelayanan
kesehatan.
R/ Evaluasi dan intervensi yang segera
dapat mencegah terjadinya komplikasi.
3) Berikan
informasi tentang perawatan pada klien dengan sindrom cushing.
R/ Mempermudah dalam melakukan
intervensi dan menaikan pengetahuan klien.
4) Berikan
perlindungan (isolasi) bila diindikasikan.
R/ Teknik isolasi mungkin diperlukan
unutk mencegah penyebaran / melindungi pasien dari proses infeksi lain.
Kolaborasi.
5) Pemberian antibiotik sesuai
indikasi.
R/ Therapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya
infeksi nosokomial.
6) Pemeriksaan lab (leukosit)
R/ Leukosit yang meningkat indikasi
terjadinya infeksi.
BAB
4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindrom
cushing adalah keadaan klinik yang terjadi akibat dari paparan terhadap
glukokortikoid sirkulasi dengan jumlah yang berlebihan untuk waktu yang lama
(Green Span, 1998). Penyakit cushing didefinisikan sebagai bentuk spesifik
tumor hipofisis yang berhubungan sekresi ACTH hipofisis berlebihan. Sindrom
cushing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu:
4.2 Saran
Sebagai generasi penerus di
bidang keperawatan kita hrus lebih memahami dan lebih mnegerti apa , mengapa
dan bagaimana terjadinya adrenal hipofungsi. Agar kita bisa memberikan
penanganan yang tepat kepada pasien kita kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Paschkis KE, Rakoff AE, Cantarow A. Clinical Endocrinology.2 nd
ed. New York: Harper & Brother. 1958, pp. 323-359.
William's RH. Textbook of Endocrinology, 5 th ed. PhiladelphiaW.B. Saunders Company, 1974, pp. 233-281.
Soffer LJ Disease of the Endocrine glands, 2 nd ed. Philadelphia:Lea & Febiger, 1958, pp. 268-315.
Swyer GIM Addison's disease, Brit Med. J. 1979; 2: 25-26.
Guyton AC. Textbook of medical physiology. 6 th
ed. Philadelphia:W.B. Saunders Company. 1981, pp. 944-957
Tidak ada komentar:
Posting Komentar